Sabtu, 18 April 2009

Konflik Peran pada Anggota Satpol PP

Oleh: Risman Heri, S.Psi

Konflik peran adalah pertentangan yang terjadi dalam diri seseorang untuk memenuhi tuntutan dari beberapa peran secara bersamaan. Dalam menjalani kehidupan setiap orang tentunya akan dihadapkan dengan beberapa peran sekaligus, dan antar peran tersebut akan terjadi pertentangan. Begitu juga di lingkungan kerja juga berpotensi menimbulkan konflik peran, hal seperti ini biasaanya terjadi karena pegawai berhadapan dengan harapan organisasi terhadapnya yang tidak konsisten dan tidak sesuai (intersender).

Satuan Polisi Pamong Praja (berikutnya di singkat Satpol PP) memiliki beberapa peran dalam kehidupan dan pekerjaannya, Di satu sisi Satpol pp berperan sebagai perangkat Pemerintah Daerah dalam memelihara ketentraman dan ketertiban umum serta menegakkan Peraturan Daerah dan di sisi lain juga sebagai masyarakat umum yang juga memiliki tanggungjawab sosial di dalamnya.

Dalam bertugas Satpol pp sering mengalami konflik dengan masyarakat. Konflik yang sering terjadi antara lain dengan PKL ( Pedagang Kaki Lima), penggusuran pemukiman warga, razia tempat-tempat hiburan dan lain sebagainya. Di luar dari tugas tersebut Satpol pp adalah masyarakat biasa yang memiliki fungsi sebagi makhluk sosial, sebagai anggota masyarakat baik di lingkup keluarga, pergaulan dan masyarakat luas. Peran-peran Satpol pp tersebut tentunya akan terjadi benturan yang akan menimbulkan konflik peran. Konflik-konflik peran tersebut akan berdampak secara psikologis dalam diri Satpol pp. Beradasarkan gambaran kasus tersebut memunculkan suatu pertanyaan apakah pekerjaan yang dijalankan oleh anggota Satpol pp telah sesuai dengan apa yang ada pada pribadi mereka?. Tetapi sebelum menjawab pertanyaan tersebut yang perlu diketahui terlebih dahulu adalah apakah pada diri anggota Sarpol pp terjadi konflik peran?.

Jumat, 17 April 2009

Pengaruh Budaya Instan terhadap Kematangan Emosi Pada Remaja

Oleh: Risman Heri, S.Psi

Perkembangan teknologi di era modern sekarang ini banyak mempengaruhi kebiasaan-kebiasaan manusia. Seiring berkembangnya produk-produk teknologi, semakin mempermudah manusia untuk menyelesaikan aktivitas-aktivitas dalam kehidupan sehari-hari. Akhir-akhir ini manusia seolah-olah dimanja oleh kemudahan-kemudahan teknologi tersebut. Kemudahan tersebut tentunya sangat mempengaruhi habituasi seseorang dalam berperilaku, membentuk karakter-karakter kepribadian baru, dan pengaruhnya juga masuk ke wilayah emosi seseorang.

Perubahan zaman membawa manusia masuk ke dalam budaya baru, budaya yang modern, dinamis, praktis dan serba instan. Munculnya budaya baru tentu memberikan kontribusi yang beragam baik positif maupun negatif. Barangkali dengan perkembangan layanan teknologi manusia semakin cepat mengakses informasi, melahirkan generasi yang peka zaman dan berwawasan luas, namun tidak menutup kemungkinan memberikan efek negatif bagi si penerima pengaruh tersebut. Pengaruh-pengaruh dapat membentuk suatu watak yang tidak memiliki daya juang dikarenakan segalanya serba instan. Yang sangat mengkhawatirkan ini sangat mempengaruhi para generasi muda khususnya remaja yang terhitung cukup banyak mengkonsumsi layanan teknologi secara instan.
Di sebagian besar masyarakat kita, layanan instan pada berbagai sarana telah menjadi budaya baru di sekeliling kita. Begitu mudahnya kita memperoleh informasi, transportasi, makanan cepat saji. Ironisnya kemudahan-kemudahan tersebut terkadang tidak disesuaikan dengan kontrol yang proporsional, baik kontrol diri maupun kontrol social. Jika dibiarkan ini akan membeku menjadi suatu karakter diri yang akan berperilaku instan pula pada kehidupan sosial. Banyak kasus yang tejadi ketika anak menginginkan sesuatu kepada orang tuanya tidak memahami kondisi orang tuanya memiliki kemampuan untuk memperoleh yang diinginkan atau tidak, yang ia tahu hanya barang yang diminta harus sesegera mungkin ia peroleh, tanpa ada suatu usaha yang sehat. Kasus yang demikian dimungkinkan sebagai buah dari pembiasaan budaya instan yang negatif. Dari gambaran tersebut mengindikasikan bahwa budaya instan dapat mempengaruhi kematangan emosi seseorang.
Menurut Overstreet (dalam Puspitasari dan Nuryoto, 2002) yang mempengaruhi kematangan emosi seseorang salah satunya adalah memiliki kemampuan untuk menjalin hubungan sosial. Pernyataan Overstreeet tersebut menitik beratkan pada kemampuan seseorang untuk menjakin hubungan social, dan apabila kita komparasikan dengan perilaku budaya instant memiliki probabilitas yang kuat. Alasannya jelas, bahwa budaya instant mampu membawa seseorang untuk mengurangi kemampuannya melakuklan hubungan social. Misalkan saja orang yang sudah menyatu dengan perkembangan tekhnologi komunikasi seperti handphone dan internet, akan enggan bertemu langsung dengan orang lain untuk sekedar tatap muka atau berkomunikasi secara langsung. Tanpa kita sadari hal ini sangat mempengaruhi mentalitas kita yang selalu ingin segala sesuatunya diperoleh secara instant dan bahkan menggunakan cara-cara yang menyimpang. Inilah yang dinamakan dengan mentalitas instantisme (Widodo, 2009).